Jumat, 11 Februari 2011

Rekayasa Kurikulum

Rekayasa kurikulum adalah semua proses dan kegiatan yang diperlukan untuk memelihara dan menyempurnakan sistem kurikulum yang mencakup kepemimpinan oleh orang-orang yang menduduki jabatan seperti pengawas sekolah, kepala sekolah dan pengembang kurikulum (yang dikenal sebagai otorita yang berwenang mengambil keputusan dan menetapkan tindakan-tindakan operasional.
Sistem kurikulum merupakan suatu sistem pengambilan keputusan dan tindakan untuk memfungsikan kurikulum dalam persekolahan. Fungsi utama sistem kurikulum adalah :(a). mengembangkan kurikulum(b). menerapkan kurikulum dan (c). menilai efektivitas kurikulum dan sistem kurikulum. Dengan demikian istilah rekayasa kurikulum diapakai untuk menggambarkan proses dinamik sistem kurikulum dan sistem persekolahan
Tujuan umum sistem kurikulum dari berbagai dari berbagai sistem persekolahan adalah memberikan kerangka kerja untuk menentukan apa yang harus diajarkan disekolah dan untuk memanfaatkan kebijakan-kebijakan yang digariskan oleh pemerintah sebagai dasar untuk mengembangkan strategi pembelajaran. Setiap sekolah dan/ atau dinas pendidikan membuat perencanaan untuk proses pembelajaran, melaksanakan rencana tersebut dan menilai hasilnya. Keberadaan suatu sistem kurikulum ditandai adanya pengorganisasian kewenangan yang jelas dan dijalankan secara tertib.
Bennie dan Newstead (1999) menegaskan bahwa setiap perubahan selalu menemui kendala dalam implementasinya. Terkait dengan perubahan kebijakan kurikulum, beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya kendala mencakup antara lain waktu, harapan-harapan dari pihak orangtua, kelangkaan bahan pembelajaran termasuk bukubuku pelajaran pada saat implementasi kurikulum yang baru, kekurangjelasan konsep kurikulum yang baru, dan guru-guru kurang memiliki keterampilan dan pengetahuan dikaitkan dengan kurikulum baru tersebut. Sedangkan Nolder (1990) dan Snyder dkk. (1992) menyatakan bahwa kendala lain menyangkut kemungkinan beban mengajar yang bertambah, peran guru yang berubah sebagai fasilitator, dan sistem pelaporan.
Suatu studi menunjukkan bahwa umumnya hambatan yang ditemui dalam implementasi suatu kurikulum adalah kurangnya kompetensi guru-guru. Seringkali terjadi bahwa implementasi suatu kurikulum baru tidak diikuti dengan pertimbangan kemampuan guru dan tindakan bagaimana meningkatkan kemampuan guru-guru sebagai ujung tombak dalam implementasi kurikulum dimaksud (Hargreaves, 1995). Hal ini didukung oleh Fennema dan Franke (1992) yang menyatakan bahwa kemampuan baik secara keterampilan dan pengetahuan seorang guru akan mempengaruhi proses pembelajaran di kelas dan menentukan sejauh mana kurikulum dapat diterapkan.
Studi lain yang dilakukan oleh Taylor dan Vinjevold (1999) mengungkapkan bahwa kegagalan implementasi kurikulum disebabkan oleh rendahnya pengetahuan konseptual guru, kurang penguasaan terhadap topik yang diajarkan, dan kesalahan interpretasi dari apa yang tertulis dalam dokumen kurikulum.
Menurut Middleton (1999), berhasil tidaknya implementasi kurikulum yang diperbaharui cenderung ditentukan oleh persepsi atau keyakinan yang dimiliki oleh guru. Perubahan kurikulum berkait dengan perubahan paradigma pembelajaran. Perubahan paradigma baik langsung atau tidak langsung akan memberikan dampak bagi para guru di mana mereka perlu melakukan penyesuaian. Sangat mungkin penyesuaian yang dilakukan akan memberikan ketidaknyamanan lingkungan pembelajaran bagi guru yang bersangkutan. Beberapa kasus menunjukkan bahwa para guru akan bersikap mendukung implementasi dimaksud apabila mereka memahami kurikulum baru tersebut secara rasional dan praktikal.
Sementara itu menurut Hamalik (2008) ,Rekayasa kurikulum adalah proses penciptaan kurikulum yang dilakukan dalam situasi yang nyata di sekolah yang melibatkan berbagai organisasi yang menuntut keterampilan para partisipan dan berbagai komponen agar dapat menghasilkan kurikulum yang diinginkan. Rekayasa kurikulum berlangsung melalui tiga proses, yakni : konstruksi kurikulum, pengembangan kurikulum dan implementasi kurikulum. Kontruksi kurikulum adalah proses pembuatan keputusan yang menentukan hakikat dan rancangan kurikulum. Pengembangan kurikulum adalah prosedur pelaksanaan pembuatan konstruksi kurikulum, dan implementasi kurikulum adalah proses pelaksanaan kurikulum yang dihasilkan oleh konstruksi dan pengembangan kurikulum.
Berdasarkan berbagai teori tersebut, dapat dikatakan bahwa pendidikan yang mampu mendukung pembangunan di masa yang akan datang adalah pendidikan yang mampu mengembangkan potensi peserta didik, sehingga yang bersangkutan berani menghadapi, mampu memecahkan, dan berhasil mengatasi masalah kehidupan yang dihadapinya. Oleh karena itu, pendidikan harus menyentuh potensi nurani maupun potensi kompetensi peserta didik. Konsep pendidikan tersebut terasa semakin penting, ketika seseorang harus memasuki kehidupan di masyarakat dan dunia kerja.
Proses konstruksi kurikulum pada umumnya mendapat perhatian yang luas dalam pembahasannya, karena menjadi landasan dalam pembuatan keputusan. Dalam proses pengembangan kurikulum mencakup dua hal pokok, yaitu : 1. Fondasi atau landasan pengembangan kurikulum dan 2. Komponen-komponen kurikulum. Pembahasan tentang pengembangan kurikulum dititikberatkan pada dinamika pengembangan kurikulum, dan ketika itu lebih banyak berbicara tentang berbagai model pengembangan kurikulum dalam berbagai model dan versi, sesuai dengan kepakaran yang bersangkutan. Sementara itu implementasi lebih banyak memperhatikan berbagai faktor yang mempengaruhi pelaksanaan dan perubahan kurikulum.


Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
Dalam Standar Nasional Pendidikan dikemukakan bahwa Kurikulum Tingkat satuan Pendidikan (KTSP) adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan. Penyusunan KTSP dilakukan oleh satuan pendidikan dengan memperhatikan dan berdasarkan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang dikembangkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan.
Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang beragam mengacu pada standar nasional pendidikan untuk menjamin pencapaian tujuan pendidikan nasional. Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan dan penilaian pendidikan. Dua dari kedelapan standar nasional pendidikan tersebut, yaitu Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) merupakan acuan utama bagi satuan pendidikan dalam mengembangkan kurikulum
KTSP disusun dan dikembangkan berdasarkan Undang-Uandang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 36 ayat 1 dan 2 sebagai berikut : (1). Pengembangan kurikulum mengacu pada SNP untuk mewujudkan pendidikan Nasional, (2). Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan , potensi adaerah dan peserta didik.
KTSP merupakan strategi pengembangan kurikulum untuk mewujudkan sekolah yang efektif, produktif dan berprestasi. KTSP juga merupakan paradigma baru pengembangan kurikulum, yang memberikan otonomi luas pada setiap satuan pendidikan, dan melibatkan masyarakat dalam rangka mengefektifkan proses belajara mengajar disekolah. Otonomi diberikan agar setiap satuan pendidikan dan sekolah memiliki keleluasaan dalam mengelola sumber daya , sumber dana, sumber belajar dan mengalokasikannya sesuai prioritas kebutuhan, serta lebih tanggap pada kebutuhan setempat
KTSP dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya.
2. Beragam dan terpadu
3. Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
4. Relevan dengan kebutuhan kehidupan
5. Menyeluruh dan berkesinambungan
6. Belajar sepanjang hayat
7. Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah

Manajemen Berbasis Sekolah
Manajemen Berbasis Sekolah (School Based Management) adalah bagian dari strategi Pemerintah dalam desentralisasi pendidikan bertujuan memperkuat kehidupan berdemokrasi melalui desentralisasi kekuasaan, sumber daya dan dana ke masyarakat tingkat sekolah. Bersama partisipasi aktif masyarakat dalam bidang pendidikan. Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) akan membantu sekolah dalam merencanakan manajemen sekolah, kebutuhan belajar siswa dan membuat keputusan pada masalah-masalah yang langsung berakibat pada pengelolaan sekolah dan belajar siswa. Dengan cara ini diharapkan MBS dapat meningkatkan demokratisasi pengeloaan sekolah, transparansi perencanaan, akuntabilitas pelaporan proses belajar-mengajar yang aktif, kreatif, dan menyenangkan, yang diharapkan dapat meningkatkan mutu pembelajaran dan mutu pendidikan pada umumnya
Manajemen berbasis sekolah pada intinya adalah memberikan kewenangan terhadap sekolah untuk melakukan pengelolaan dan perbaikan kualitas secara terus menerus. Dapat juga dikatakan bahwa manajemen berbasis sekolah pada hakikatnya adalah penyerasian sumber daya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua kelompok kepentingan (stakeholder) yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan peningkatan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
Tujuan MBS adalah untuk mewujudkan kemerdekaan pemerintah daerah dalam mengelola pendidikan. Dengan demikian peran pemerintah pusat akan berkurang. Sekolah diberi hak otonom untuk menentukan nasibnya sendiri. Paling tidak ada tiga tujuan dilaksanakannya MBS peningkatan efesiensi, peningkatan mutu, peningkatan pemerataan pendidikan. Dengan adanya MBS diharapkan akan memberi peluang dan kesempatan kepada kepala sekolah, guru dan siswa untuk melakukan inovasi pendidikan. Dengan adanya MBS maka ada beberapa keuntugan dalam pendidikan yaitu, kebijakan dan kewenangan sekolah mengarah langsung kepada siswa, orang tua dan guru, sumber daya yang ada dapat dimanfaatkan secara optimal, pembinaan peserta didik dapat dilakukan secara efektif, dapat mengajak semua pihak untuk memajukan dan meningkatkan pelaksanaan pendidikan.

PEMBAHASAN
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Sebagaimana kita ketahui, Pendidikan Nasional yang berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertaqwa, berahklak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara demokratis serta bertanggungjawab.
Pendidikan dipandang sebagai investasi jangka panjang yang akan memberikan keuntungan jangka panjang pula. Sebagai investasi jangka panjang pendidikan harus dirancang sedemikian rupa mengikuti berbagai perkembangan lingkungan. Bila pendidikan tidak dirancang sedemikian rupa maka akan menimbulkan tingkat kerugian pada jangka panjang pula
Dalam kaitan itulah Undang-Undang No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, mengamanatkan perlunya disusun standar nasional pendidikan. Standar nasional pendidikan tersebut, pada Pasal 1 ayat (17) didefinisikan : ” kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Standar nasional pendidikan, dalamPasal 35, ayat (1) terdiri atas: ” standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan, yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala.”
Dua dari delapan standar nasional pendidikan, yaitu Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) merupakan acuan utama bagi penyusunan KTSP. Pengembangan KTSP yang mengacu pada standar nasional pendidikan dimaksudkan untuk menjamin pencapaian tujuan pendidikan nasional.
Bila KTSP mengacu kepada SI dan SKL, maka sudah seharusnya ada evaluasi secara nasional. Sebab bila evaluasi secara nasional tidak ada maka kita tidak akan pernah tahu apakah SI dan SKL itu sudah tercapai atau belum. Hal inilah yang ditegaskan UU Sisdiknas Pasal 57 ayat (1) : Evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Oleh sebab itu KTSP memerlukan UN dan sebaliknya UN memerlukan KTSP. KTSP tanpa UN akan mengawetkan ketidakadilan. Sebab akan terus terjadi perbedaan berkepanjangan, baik in-put, proses, maupun out-pun pendidikan pada setiap sekolah/madarasah. Kurikulum yang berbeda-beda ini memang sangat dibutuhkan oleh kondisi infra struktur pendidikan kita yang sangat beragam tersebut.
Sebaliknya UN memerlukan KTSP. UN yang mempergunakan standar minimal kelulusan memberikan judgment terhadap pelaksanaan KTSP. Objek yang dituju adalah sekolah/madrasah yang masih serba kekuranagan tersebut. Sedangkan sekolah/madrasah yang sudah maju dianjurkan untuk mempergunakan kriteria kelulusan lebih tinggi dari satandar kelulusan UN. Peraturan Mendiknas No 1/2007 tentang Perubahan Peraturan Mendiknas No 45/2006 tentang Ujian Nasional Tahun Pelajaran 2006-2007, Pasa 18 ayat (2), menegaskan: “Pemerintah Daerah dan satuan pendidikan dapat menetapkan batas kelulusan di atas nilai sebagaimana dimaksudpada ayat (1).” Apa gunanya perlakukan seperti itu? Agar kita mengetahui potret kelemahan sesungguhnya dari sekolah/madrasah yang serba kekurangan tadi. Sedangkan sekolah/madrasah yang sudah serba lengkap dan serba mencukupi infrastrukturnya biarlah terus berkembang menjangkau mutu tertingginya. Di sinilah diperlukan aspek pemetaan dari UN. Berdasarkan standar kelulusan akan muncul pemetaan yang dengan itu pembinaan dan pemberian bantuan kepada sekolah/madrasah dalam upaya meningkatkan mutu, dapat dilakukan. Sebab yang selama ini terjadi kebijakan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan agak kurang adil. Sekolah/madrasah yang sudah maju dan serba lengkap peralatannya mendapat bantuan banyak, sebaliknya sekolah/madrasah serba kekurangan mendapat bantuan sangat kecil.
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional juga mengatur tentang Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), Pada Pasal 51 menjamin bahwa pengelolaan satuan pendidikan dilaksanakan dengan prinsip manajemen berbasis sekolah. Kemudian Rencana Strategis Depdikas Tahun 2005 – 2009, bagian Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun, dalam sub bagian Peningkatan Governance, Akuntabilitas, dan Pencitraan Publik, dinyatakan bahwa pengembangan kapasitas dilaksanakan dalam rangka penerapan Manajemen Berbasis Sekolah.
Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dikembangkan dari hasil penelitian tentang sekolah efektif. Konsepnya berupa desentralisasi manajemen sumber-sumber daya ke tingkat sekolah: pengetahuan, teknologi, kewenangan (power), bahan, orang, waktu, dan keuangan. Desentralisasi ini bersifat administratif: keputusan yang dibuat di tingkat sekolah harus dalam kerangka kebijakan nasional. Dengan demikian, sekolah masih harus akuntabel kepada Pemerintah atau pemerintah daerah, tidak hanya kepada masyarakat dan pememangku kepentingan lainnya dalam pendidikan. Secara garis besar, MBS adalah upaya (i) mendelegasikan organisasi, manajemen dan tata kelola (governance) sekolah; (ii) memberdayakan orang yang paling dekat dengan siswa di kelas, yaitu guru, orangtua dan kepala sekolah; (iii) menciptakan peran dan tanggung jawab baru bagi seluruh orang yang terlibat dalam MBS; dan (iv) mentransformaskan proses belajar-mengajar yang terjadi di sekolah (Hallinger, Murphy, & Hausman, 1992).
Dalam manajemen sekolah, kepala sekolah dan stafnya (para guru dan pegawai administrasi sekolah) didorong untuk berinovasi dan berimprovisasi dari dalam diri sekolah, yang kemudian akan menumbuhkan daya kreativitas dan prakarsa sekolah, dan membuat sekolah sebagai pusat perubahan. Pengambilan keputusan melibatkan warga sekolah, sesuai dengan relevansi, keahlian, yurisdiksi, dan kompatibilitas keputusan dengan kepentingan partisipan. Dengan cara ini, pengetahuan, informasi dan keahlian terbagi di antara kepala sekolah, guru dan warga sekolah lain terutama komite sekolah.

Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional
PP Nomor 19/2005 Pasal 17 Ayat 1 menyebutkan bahwa kurikulum tingkat satuan pendidikan SD/MI/SDLB, SMP/MTs/SMPLB, SMA/MA/SMALB, SMK/MAK, atau bentuk lain yang sederajat dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah/karakteristik daerah, sosial budaya masyarakat setempat, dan peserta didik.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 pasal 63 ayat 1 mengamanatkan tiga jenis penilaian yang dilakukan terhadap peserta didik. Salah satunya, penilaian hasil belajar yang harus dilakukan oleh pemerintah.Pada pasal 66 bentuk penilaian yang dilakukan pemerintah tersebut dilakukan dalam bentuk ujian nasional untuk mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan teknologi. Dalam pelaksanaannya selama ini, mata pelajaran yang diujikan oleh pemerintah ada tiga yaitu Matematika, Bahasa Inggris, dan Bahasa Indonesia. Pemerintah menugasi Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dengan bekerjasama dengan instansi terkait di lingkungan pemerintah pusat, daerah, dan satuan pendidikan untuk menyelenggarakan ujian nasional tersebut.
Di lain pihak, pada tahun ajaran 2006-2007 pemerintah menerbitkan Peraturan pemerintah Nomor 22, 23, dan 24 tentang pelaksanaan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Maka, perlu mendapat perhatian dan apresiasi dari seluruh masyarakat, khususnya kalangan pendidikan bahwa UN tahun ajaran 2006-2007 merupakan ujian yang diselenggarakan pertama kali dengan kurikulum tingkat satuan pendidikan ( KTSP), khususnya untuk sekolah-sekolah yang secara serempak menggunakan kurikulum kreasi satuan pendidikan (KTSP ) dari kelas 7 sampai 9 dan kelas 10 sampai 12.
Pemahaman yang dapat dibangun dari rumusan panduan di atas adalah, antara standar isi dan standar kelulusan jelas memiliki korelasi, bahwa standar isi memberikan arahan bagi pengembangan silabus di tingkat sekolah yang selanjutnya diharapkan dapat mencapai standar kompetensi lulusan. Persoalannya adalah, apakah antara pengembangan silabus dan standar kompetensi lulusan juga masih memiliki tingkat kesesuaian yang tinggi. Sebab, bukankah dengan menyerahkan kewenangan kepada sekolah untuk mengembangkan silabusnya sendiri merupakan sebuah mekanisme yang justru

Permendiknas No. 22 Tahun 2006 dan No. 23 Tahun 2006 tentang Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan

Pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22 Tahun 2006 mengatur tentang stándar isi untuk satuan pendidikan dasar dan menengah yang selanjutnya disebut standar isi, mencakup lingkup materi minimal dan tingkat kompetensi lulusan minimal minimal pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu.
Sementara itu Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Tahun 2006 mengatur Standar kompetensi Lulusan untuk satuan pendidikan dasar dan menengah digunakan sebagai pedoman penilaian dalam menentukan kelulusan peserta didik. SKL meliputi stándar kompetensi lulusan minimal satuan pendidikan dasar dan menengah, standar kompetensi lulusan minimal kelompok mata pelajaran dan stándar kompetensi lulusan minimal mata pelajaran, yang akan bermuara pada kompetensi dasar.
Dari Peraturan Menteri diatas yaitu Peraturan Mendiknas No 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Pendidikan dan UU No 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan/SKL) menginisiasi kurikulum tingkat satuan pendidikan atau KTSP di Indonesia. Tetapi pada kenyataanya alih-alih mereformasi KTSP, sekadar kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan di mana pedoman dan alat ukur keberhasilannya tetap sentralistik. Berarti, secara substansial nuansa reformasi kurikulum tidak mampu memaknai otonomi pendidikan yang sebenarnya, Sudah menjadi rahasia umum, bahwa pendidikan keguruan di Indoensia ini tidak pernah menyiapkan guru dan sekolah menjadi pengembang kurikulum. Sementara dalam KTSP, guru harus mampu menafsirkan standar kompetensi dan kompetensi dasar menjadi indikator dan materi pembelajaran, sekaligus menentukan sendiri metodologi didaktisnya agar tercipta harmonisasi pembelajaran yang efektif dan efisien.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan sebagai kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan diharuskan dapat memenuhi standar nasional pendidikan. Walaupun dikembangkan sendiri oleh masing-masing sekolah sesuai dengan karakteristik, dan kebutuhan sekolah namun harus mengacu pada standar isi yang dikeluarkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan. Menurut Panduan penyusunan KTSP, Standar Isi (SI) mencakup lingkup materi dan tingkat kompetensi untuk mencapai kompetensi lulusan pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Termasuk dalam SI adalah: kerangka dasar dan struktur kurikulum, standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD) setiap mata pelajaran pada setiap semester dari setiap jenis dan jenjang pendidikan dasar dan menengah.


KESIMPULAN
Berdasarkan uraian diatas maka penulis merumuskan simpulan sebagia berikut :
1. KTSP merupakan strategi pengembangan kurikulum untuk mewujudkan sekolah yang efektif, produktif dan berprestasi. KTSP juga merupakan paradigma baru pengembangan kurikulum, yang memberikan otonomi luas pada setiap satuan pendidikan, dan melibatkan masyarakat dalam rangka mengefektifkan proses belajara mengajar disekolah. Otonomi diberikan agar setiap satuan pendidikan dan sekolah memiliki keleluasaan dalam mengelola sumber daya , sumber dana, sumber belajar dan mengalokasikannya sesuai prioritas kebutuhan, serta lebih tanggap pada kebutuhan setempat
2. Manajemen berbasis sekolah memberikan kewenangan terhadap sekolah untuk melakukan pengelolaan dan perbaikan kualitas secara terus menerus. Dapat juga dikatakan bahwa manajemen berbasis sekolah pada hakikatnya adalah penyerasian sumber daya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua kelompok kepentingan (stakeholder) yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan peningkatan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
3. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan sebagai kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan diharuskan dapat memenuhi standar nasional pendidikan. Walaupun dikembangkan sendiri oleh masing-masing sekolah sesuai dengan karakteristik, dan kebutuhan sekolah namun harus mengacu pada standar isi yang dikeluarkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan.
4. Konsep peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah muncul dalam kerangka pendekatan manajemen berbasis sekolah. Pada hakekatnya MBS akan membawa kemajuan dalam dua area yang saling tergantung, yaitu, pertama, kemajuan program pendidikan dan pelayanan kepada siswa-orang tua, siswa dan masyarakat. Kedua, kualitas lingkungan kerja untuk semua anggota organisasi.